New York, Selama ini para peneliti hanya mengetahui
jika anak-anak dan orang dewasa yang mengidap gangguan akut pada telinga
bagian dalam, terutama yang mempengaruhi pendengaran dan
keseimbangannya, juga mengidap masalah perilaku. Namun sebuah studi baru
mengatakan keduanya memang berkaitan langsung.
Hingga kini memang belum ada peneliti yang mampu menentukan apakah keduanya berkaitan atau tidak. "Tapi studi kami menemukan bukti pertama bahwa gangguan sensor seperti pada disfungsi telinga dalam dapat memicu perubahan molekuler yang spesifik di dalam otak sehingga menyebabkan perilaku maladaptif, yang dulunya dikira hanya berasal dari otak," ungkap ketua tim peneliti Dr. Jean Hebert, seorang profesor dari Albert Einstein College of Medicine, New York.
Telinga bagian dalam sendiri sebenarnya terdiri atas dua struktur, yaitu koklea (pendengaran) dan sistem vestibular yang bertanggung jawab terhadap keseimbangan seseorang. Gangguan telinga dalam sendiri biasanya disebabkan oleh kecacatan genetik, infeksi atau cedera tertentu.
Gagasan studi ini pun muncul ketika salah satu mahasiswa program Ph.D. dari Albert Einstein College of Medicine menemukan jika beberapa tikus yang ada di dalam lab Dr. Hebert terus mengejar-ngejar ekor mereka sendiri. Setelah diamati terungkaplah fakta bahwa mereka mengidap gangguan telinga yang parah dan tuli.
Lebih jauh lagi, peneliti menemukan gangguan telinga dalam pada hewan-hewan itu disebabkan mutasi gen. Dan kondisi ini juga bisa terjadi pada manusia.
Untuk memastikan apakah mutasi itulah yang berkontribusi terhadap hiperaktivitas tikus-tikus tersebut, peneliti pun memilih beberapa tikus sehat dan secara selektif menghapus sebuah gen dari telinga dalamnya dan beberapa bagian dari otak yang bertugas mengontrol pergerakan (movement) atau sistem saraf pusatnya secara keseluruhan.
"Kami terkejut karena ternyata ketika kami menghapus gen itu dari telinga dalamnya maka kami menemukan adanya peningkatan pergerakan," ungkap Dr. Herbert seperti dilansir Daily Mail, Senin (9/9/2013).
Kesimpulannya, gangguan telinga dalam menyebabkan otak pusat yang berfungsi mengontrol pergerakan menjadi abnormal.
Dari sejumlah tes juga terungkap pada tikus-tikus hiperaktif terjadi peningkatan kadar dua protein yang berfungsi mengendalikan neurotransmitter. Tapi peningkatan level ini hanya dapat dilihat di area otak pusat, dan tidak di bagian otak depan lainnya.
Untuk menentukan faktor penyebab peningkatan pergerakan abnormal itu, tikus-tikus yang gennya dihapus oleh peneliti pun diberi sebuah suntikan yang berfungsi untuk menghambat kinerja protein pengendali neurotransmitternya. Dan hasilnya, aktivitas tikus-tikus itu pun kembali normal.
Hal ini berarti dengan belajar dari temuan ini, peneliti dapat menyimpulkan bahwa hiperaktivitas pada anak-anak penderita gangguan telinga dalam bisa jadi dapat dikendalikan dengan obat-obatan yang dapat menghambat mekanisme serupa di area otak pusat. News Source
Hingga kini memang belum ada peneliti yang mampu menentukan apakah keduanya berkaitan atau tidak. "Tapi studi kami menemukan bukti pertama bahwa gangguan sensor seperti pada disfungsi telinga dalam dapat memicu perubahan molekuler yang spesifik di dalam otak sehingga menyebabkan perilaku maladaptif, yang dulunya dikira hanya berasal dari otak," ungkap ketua tim peneliti Dr. Jean Hebert, seorang profesor dari Albert Einstein College of Medicine, New York.
Telinga bagian dalam sendiri sebenarnya terdiri atas dua struktur, yaitu koklea (pendengaran) dan sistem vestibular yang bertanggung jawab terhadap keseimbangan seseorang. Gangguan telinga dalam sendiri biasanya disebabkan oleh kecacatan genetik, infeksi atau cedera tertentu.
Gagasan studi ini pun muncul ketika salah satu mahasiswa program Ph.D. dari Albert Einstein College of Medicine menemukan jika beberapa tikus yang ada di dalam lab Dr. Hebert terus mengejar-ngejar ekor mereka sendiri. Setelah diamati terungkaplah fakta bahwa mereka mengidap gangguan telinga yang parah dan tuli.
Lebih jauh lagi, peneliti menemukan gangguan telinga dalam pada hewan-hewan itu disebabkan mutasi gen. Dan kondisi ini juga bisa terjadi pada manusia.
Untuk memastikan apakah mutasi itulah yang berkontribusi terhadap hiperaktivitas tikus-tikus tersebut, peneliti pun memilih beberapa tikus sehat dan secara selektif menghapus sebuah gen dari telinga dalamnya dan beberapa bagian dari otak yang bertugas mengontrol pergerakan (movement) atau sistem saraf pusatnya secara keseluruhan.
"Kami terkejut karena ternyata ketika kami menghapus gen itu dari telinga dalamnya maka kami menemukan adanya peningkatan pergerakan," ungkap Dr. Herbert seperti dilansir Daily Mail, Senin (9/9/2013).
Kesimpulannya, gangguan telinga dalam menyebabkan otak pusat yang berfungsi mengontrol pergerakan menjadi abnormal.
Dari sejumlah tes juga terungkap pada tikus-tikus hiperaktif terjadi peningkatan kadar dua protein yang berfungsi mengendalikan neurotransmitter. Tapi peningkatan level ini hanya dapat dilihat di area otak pusat, dan tidak di bagian otak depan lainnya.
Untuk menentukan faktor penyebab peningkatan pergerakan abnormal itu, tikus-tikus yang gennya dihapus oleh peneliti pun diberi sebuah suntikan yang berfungsi untuk menghambat kinerja protein pengendali neurotransmitternya. Dan hasilnya, aktivitas tikus-tikus itu pun kembali normal.
Hal ini berarti dengan belajar dari temuan ini, peneliti dapat menyimpulkan bahwa hiperaktivitas pada anak-anak penderita gangguan telinga dalam bisa jadi dapat dikendalikan dengan obat-obatan yang dapat menghambat mekanisme serupa di area otak pusat. News Source
0 komentar:
Posting Komentar