Hidup sederhana salah satu ajaran Islam
Agama Islam
menganjurkan agar umatnya sentiasa hidup sederhana dalam semua tindakan, sikap
dan amal. Islam adalah agama yang berteraskan nilai kesederhanaan yang tinggi.
Kesederhanaan adalah satu ciri yang umum bagi Islam dan salah satu perwatakan
utama yang membedakan dari umat yang lain. Ini selaras dengan firman Allah
dalam Surah Al-Baqarah ayat 143: yang artinya:
"Dan
demikianlah kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia."
Atas prinsip
inilah, maka umat Islam yang sejati merupakan umat yang adil dan sederhana.
Merekalah yang akan menjadi saksi di dunia dan di akhirat di atas setiap
penyelewengan, penindasan serta penyimpangan ke kanan maupun ke kiri dari jalan
pertengahan yang lurus.
Rasulullah
s.a.w. telah bersabda dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Imam Tirmizi: yang artinya :
“ Sebaik-baik perkara ialah yang paling sederhana”
Kesederhanaan
adalah budaya yang telah diterapkan oleh Rasulullah S.A.W. Budaya sederhana dan
sentiasa mendaulatkan prinsip keadilan serta kemanusiaan inilah yang membentuk
generasi Islam yang begitu mantap dan berkualitas. Generasi yang dididik oleh
Nabi Muhammad S.A.Wdengan ciri kesederhanaan dan penghayatan memahami Islam
yang sejati berlandaskan cahaya al-Quran itulah yang akhirnya berhasil
mengangkat panji-panji Islam ke seluruh dunia.
Rasulullah
SAW dan Nabi-nabi yang lain menyukai hidup sederhana dan wajar. Beliau
menikmati ketenangan hidup secara sederhana bukan berlebih-lebihan dan
berfoya-foya. Beliau hidup sederhana di segala urusannya sehari-hari baik itu
dari segi makanan, berpakaian dan juga apa yang ada padanya. Beliau
mencontohkan hidup yang baik pada umatnya dan bahkan penasehat mereka untuk
hidup sederhana dan menahan diri dari hidup yang berpoya-poya. Dalam hadis-Nya
Rasulullah mengajarkan pada umat-Nya untuk hidup sederhana.
“Orang
yang mencapai kejayaannya ialah orang yang bertindak di atas prinsip Islam dan
hidup secara sederhana”.[1]
“Barang
yang sedikit tetapi cukup (untuk memenuhi kebutuhan hidup) adalah lebih baik daripada
banyak (tetapi menjadikan mereka lupa diri) dan menyesatkanya (dari jalan hidup
yang sederhana”.[2]
Al-Quran
mengajak untuk hidup sederhana, menurut Al-Quran jalan yang terbaik adalah
jalan tengah.sebagaimana firman Allah swt:
“Dan orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan
adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”.. ( Al Furqaan: 67)
Meskipun
Rasulullah mempunyai sumber kekayaan yang banyak, beliau tetap hidup secara
sederhana yaitu berdasarkan keperluan-keperluan yang sederhana saja. Ini adalah
suatu keteladanan yang sangat berharga untuk dicontoh dan diikuti. Bahkan
keempat khalifah setelah beliau tetap mempertahankan hidup yang sederhana.
Anjuran
Nabi ini tidak hanya terbatas pada pakaian saja tapi juga mencakup sandang,
pangan, papan dan segala kebutuhan pokok. Begitu juga Allah melarang menjerat
leher karena terlalu hemat sebagaimana dia melarang hambanya untuk hidup boros
dan berpoya-poya, karena kedua sikap ini bertentangan dengan hidup sederhana.
Firman Allah SWT:
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan
suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta
berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering
dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti)
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan
dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu,” (QS al-Hadid:20).
Kebahagiaan hakiki bukanlah di dunia. Tak apa bersakit di dunia, jika bisa
menuai kebaikan di surga. Karena itu, jiwa, hati dan pikiran seorang Mukmin
selalu bertaut dengan akhirat, dan terus bekerja untuk menjadikan kehidupan
dunianya sebagai tiket menuju surga.
Sejalan dengan ini, ada seorang ahli hikmah yang
berkata :
“sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan dunia terdiri
atas tiga bagian; sebagian gabi mukmunin; sebagian bagi orang munafik; sebagian
lagi bagi orang Kafir. Maka orang mukmin menyiapkan perbekalan, orang munafik
menjadikannya perhiasan, dan orang Kafir menjadikannya tempat bersenang-senang.”[3]
“Sesungguhnya beruntunglah
orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Dan
orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada
berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki[4];
maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari
di balik itu[5]; maka mereka itulah
orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat
(yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang menjaga shalatnya. Mereka
itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi surga
Firdaus. Mereka kekal di dalamnya,” (QS al-Mukminun:1-11).
Kehidupan Rasulullah SAW
Nabi Muhammad Rasulullah saw selama hidupnya adalah seorang pribadi
sederhana. Meskipun memiliki kekuasaan yang besar, tak terbersit pun dalam diri
beliau memanfaatkannya untuk memiliki harta yang berlimpah. Kesederhanaan
Rasulullah saw tidak sebatas pada sikap beliau yang memang sangat sederhana,
tetapi juga pada apa yang dimilikinya. Hal itu beliau tampakkan dalam kehidupan
sehari-harinya.
Rasulullah saw bersabda,"Tiada hak bagi seorang anak Adam dalam semua
hal ini kecuali rumah tempat tinggal, baju yang menutup auratnya, roti kering
dan air." (Tarmidzi);
Ibnu
Abbas menceritakan bahwa terkadang Rasulullah s.a.w beserta
keluarganya tidak makan beberapa malam, karena tidak ada yang akan dimakannya
dan kebanyakan makanan mereka terdiri dari roti dan tepung gandum.
(Tarmidzi).
Orang yang
sederhana dalam penampilan dan gaya hidup kesehariannya merupakan titik tolak
kesadaran tinggi hidup bersosial. Dengan demikian, sikap atau gaya hidup
berlebihan, glamor, dan sombong adalah lawan yang harus dimusnahkan dalam sikap
hidup keseharian seseorang. Karena orang yang suka berlebih-lebihan merupakan
tanda sikap individualistik, yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa
mempedulikan nasib orang lain di sekitarnya.Gaya hidup berlebih-lebihan inilah
yang sering Allah SWT kecam dalam Alquran. Karena sikap ini adalah awal bencana
dalam kehidupan sosial. Jika dalam diri seseorang telah tertanam ambisi untuk
memperkaya diri sendiri, ia akan sangat mudah terseret untuk menghalalkan
segala cara demi meraih apa yang ia cita-citakan. Dan ini sangat berbahaya bagi
kehidupan sosial. Dampak negatif yang ditimbulkannya cukup besar. Orang akan
makin asyik dengan perilaku negatif yang dilakukannya. Akhirnya, jika gaya
hidup berlebih-lebihan terus dipupuk, lambat laun ia akan menjadi budaya yang
berakar kuat dan sulit dicerabut. Rasulullah SAW adalah satu teladan mulia yang
memperlihatkan sikap sederhana. Meskipun beliau memiliki kedudukan terpandang
di masyarakat Arab kala itu, beliau sama sekali tidak berobsesi dan
berkeinginan untuk memamerkan kedudukannya. Rumah beliau sangat sederhana, alas
tidur pun hanya pelepah daun kurma yang membekas di pipi beliau setiap kali
bangun tidur. Sikap hidup sederhana ini pulalah yang dibudayakan oleh para
khalifah sepeninggal Nabi SAW.
“Bahwa sesungguhnya pada pribadi kehidupan Rasululah SAW adalah contoh
teladan yang baik bagimu, bagi orang mengharap kerelaan Allah dan keselamatan
hari akhirat.”[6]
Lantas
bagaimana dengan para pemimpin kita yang Muslim. Kebanyakan mereka mengaku
sahabat orang kecil (miskin), mau membantu dan mengangkat derajat kehidupan
rakyat kebanyakan. Jumlah harta mereka, kalau kita baca, dengar dan lihat di
berbagai media massa, semuanya dalam bilangan milyar. Namun adakah di antara
mereka yang mau mengeluarkan milyaran rupiah tersebut untuk kepentingan fakir.
Seperti Khalifah Umar bin Khaththab yang memanggul sekarung gandum untuk
rakyatnya yang sangat membutuhkan. Ia memilih hidup dalam sebuah gubuk, sebagai
penguasa yang memiliki kekuasaan besar.
Makan / minum 2/3 perut
Akibat buruk orang yang tidak
seimbang dalam makan minumnya akan menimpa tubuh dan badan orang tersebut.
Seorang muslim dalam makan dan minumnya dituntut untuk melaksanakan aturan yang
telah Allah tentukan.
Pertama : tidak boleh
berlebih-lebihan.
…….“ Makan,
minumlah, dan jangan berlebih-lebihan[7], Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan”
(QS Al-A’raf [7] :
31).
Kedua : tidak boleh
makan dan minum sesuatu yang membahayakan dirinya, apalagi yang haram.
Ketiga : hendaklah
makan dan minum dengan seimbang.
Rasulullah SAW bersabda :
عن أبي كريمة
المقدار بن معديكرب رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلم يقول : ما
ملا ادمي وعاء شرا من بطنه بحسب ابن ادم لقيمات يقمن صلبه, فإن كان لا محالة, فثلث
لطعامه, و ثلث لشرابه وثلث لنفسه. رواه الترمذي وابن مجة وابن
حبان.
“ tidaklah seorang anak Adam dapat memenuhi suatu
wadah dengan kejelekan kecuali perutnya. Cukuplah bagi anak Adam suapan makanan
yang memuat tulang punggungnya tegak. Jika tidak dapat mengalahkan nafsunya
maka sebaiknya dia mengisi sepertiga untuk makannya, sepertiga untuk minumnya,
dan sepertiga untuk nafasnya”.(HSR Imam Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).[8]
Arti dari
makanan yang dapat menegakkan tulang punggungnya yaitu makanan dan minuman yang
mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh kita, seperti mengandung protein dan
vitamin. Hal ini menuntut kita untuk menyeleksi jenis makanan yang dibutuhkan.
Disamping itu, perlu diperhatikan juga makanan dan minuman yang harganya lumrah
dan terjangkau oleh daya beli kita, tetapi layak untuk dimakan dan tidak
membahayakan kita, baik dalam urusan ukhrowi maupun duniawi.
Memanjakan
nafsu perut dicela oleh Islam.
Dari Nabi SAW, bahwasanya beliau
bersabda :
وعن النبي
عليه الصلاة والسلام-أنه قال : “ثلاثة يبغضهم الله تعال من غير جرم الاكول والبخيل
والمتكبر.
“ tiga
golongan manusia yang sangat dibenci Allah Ta’ala tanpa berbuat dosa, yaitu orang yang banyak makan, orang bakhil (kikir), dan orang sombong”.
Adapun cara
mengurangi makan adalah dengan merenungkan manfaat dan pentingnya makan sedikit
yaitu: menjaga kesehatan tubuh, dapat memelihara diri (menghindari) barang yang
haram dan sifat tamak.
Kesimpulan
Nilai hidup
sederhana adalah nilai hidup yang menganggap bahwa kebutuhan hidup anda dapat
terpenuhi dengan pemenuh kebutuhan hidup yang “standar”. Yang dimaksud standar
di sini adalah yang layak dengan mengenyampingkan prestise.
Langkah yang
kedua yang harus anda lakukan adalah membuat nilai hidup sederhana yang telah
tertanam dalam hati anda menjadi suatu sikap yang anda anut. Sikap adalah suatu
reaksi spontan diri kita apabila kita dihadapkan pada suatu kondisi atau suatu
situasi. Tanda yang dapat anda rasakan apabila nilai hidup sederhana sudah
menjadi sikap hidup anda adalah apabila anda merasakan ada yang salah apabila
anda melihat pemborosan, ketidakefisienan dan hal-hal lain yang bertentangan
dengan nilai hidup sederhana
.Langkah
terakhir yang harus anda lakukan adalah membuat sikap hidup sederhana menjadi
perilaku anda sehari-hari. Jika sikap hidup sederhana sudah menjadi perilaku
anda sehari hari maka lama kelamaan hidup sederhana akan menjadi budaya hidup
anda.
Analisis
Penulis
Dalam kehidupan
dunia yang cenderung semakin materialistis ini, sikap sederhana adalah sesuatu
yang langka. Banyak orang cenderung mempertontonkan kemewahan dan
berlebihan dengan apa yang mereka miliki. Banyak orang merasa tidak pernah puas
dengan apa yang telah mereka miliki. Mereka berlomba-lomba menumpuk harta dan
kekayaan. Mereka seakan tidak puas dengan apa yang telah mereka miliki. Ketika mereka
telah diberikan oleh Allah kendaraan berupa motor, mereka ingin memiliki mobil.
Ketika sudah terpenuhi, mereka berusaha memiliki mobil yang lebih mewah. Begitu
pula ketika Allah telah memberinya rizki berupa rumah, banyak orang cenderung
ingin memiliki rumah lebih mewah lagi. Orang-orang seperti itu adalah orang yang
tidak tau akan arti hidup sebenrnya. Mungkin merika disebabkan kebodohan merika
sendiri yang terjerat hawa nafsu, harta yang dimiliki yang seharusnya dijadikan
sebagai serana untuk meraih kebahagiaan akhirat malah dijadikan sebagai
pelempiasan hawa nafsu.
[1] HR.
Ahmad Tirmidzi, Ibnu Majah, dikutip oleh mishkat, Edisi Urdu, Opcit Vol II, hal
245, No. 4934.
[2] Abu
Naeem, Dikutip oleh Mishkat, Opcit. Vol II, hal. 348, No. 4962.
[3] Ir. Permadi
Alibasyah, Sentuhan Kalbu,
Cet I. (Bandung, Penerbit: Cahaya Makrifat, 2005). Hlm: 202
[5]
Maksudnya: budak-budak belian
yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang
didapat di luar peperangan. dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu,
wanita-wanita yang ditawan biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang
ikut dalam peperangan itu, dan kebiasan ini bukanlah suatu yang diwajibkan.
imam boleh melarang kebiasaan ini. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya
tidak ikut tertawan bersama-samanya.
[7] Al-Ahzab:21.
[8] Maksudnya: janganlah melampaui batas
yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan pula melampaui batas-batas makanan yang
dihalalkan
[9] M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur’an, Cet I. (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007). Hlm. 198.
Bandi,
Kusyana, Drs.(1995) “Qur’an Hadis”.Bandung : CV Armico.
Al-Zarnuji, Syekh. (1422 H) “Ta’limul Muta’allim”.Bandung
: Husaini.
0 komentar:
Posting Komentar