A. Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqih
Jika
kita telusuri sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw, para sejarahwan sering
membaginya dalam dua periode kenabian yakni periode Mekkah dan periode Madinah.
Pada periode pertama risalah kenabian berisi ajaran-ajaran akidah dan akhlaq,
sedangkan pada periode kedua risalah kenabian lebih benyak berisi hukum-hukum.
Pada periode kenabian hukum-hukum itu berupa hukum-hukum yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan hukum-hukum yang berasal dari nabi yang merupakan fatwa terhadap
suatu peristiwa, putusan terhadap perselisihan atau jawaban terhadap
pertanyaan. Dalam mengambil putusan amaliyah para sahabat tidak perlu melakukan
ijtihad sendiri, karena mereka dapat langsung bertanya kepada Nabi jika mereka
mendapati suatu masalah yang belum mereka katahui. Demikian juga untuk memahami
kedua sumber hukum syari’ah ini para sahabat tidak membutuhkan metodologi
khusus, karena mereka mendengarkannya secara langsung dari Nabi.
Sampai
dengan masa empat khalifah pertama hukum-hukum syari’ah itu belum dibukukan,
dan belum juga diformulasikan sebagi sebuah ilmu yang sistematis. Kemudian pada
masa-masa awal periode tabi’in (masa Dinasti Umayyah) muncul aliran-aliran dalm
memahami hukum-hukum syari’ah serta dalm merespons persoalan-persoalan baru
yang muncul sebagai akibat semakin luasnya wilayah islam, yakni ahl al-hadis
dan al-ra’y. aliran pertama, yang berpusat di Hijaz (Mekkah-Madinah), banyak
menggunakan hadis dan pendapat-pendapat sahabat, serta memahaminya secara
harfiah. Sedangkan aliran kedua, yang berpusat di Irak, banyak menggunakan
rasio dalam merespons persoalan baru yang muncul.
Di
antara ahli fatwa dari kalangan tabi’in adalah Sa’id ibnu Musayyab (13-94 H),
Ibrahim al-Nakha’i (49-96 H), Hasan al-Bashri (w. 111 H), dan sebagainya. Namun
demikian, pada periode ini juga belum dilakukan pembukuan hukum-hukum syari’ah,
dan belum juga diformilasikan dalam ilmu bentuk fiqih. Demikian pula, metode
ijtihad belum diformulasikan dalam bentuk ilmu ushul fiqih dan qawaid fiqqiyah.
Ilmu-ilmu agama Islam memang baru muncul pada masa-masa awal dari Dinasti
Abbasiyah (133-766 H atau 750-1258), setelah kaum Muslimian mendapatkan
stabilitas keamanan di seluruh wilayah Islam.
Pada
waktu itu kaum Muslimin, berada pada tingkat kehidupannya yang semakin baik,
tidak lagi berkonsentrasi untuk memperluas wilayahnya, melainkan berupaya untuk
membangun suatu peradaban melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Maka muncullah
berbagi kegiatan dalam kaitan dengan kebangkitan ilmu pengetahuan ini, yang
terdiri dari tiga bentuk, yakni :
(1)
penyusunan buku-buku
(2)
perumusan ilmu-ilmu Islam
(3)
penterjemahan manuskrip dan buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab
Ilmu pengetahuan yang berkembang tidak hanya
ilmu-ilmu agama Islam saja, tetapi juga ilmu-ilmu keduniaan yang memang tak
dapat dipisah dengan ilmu-ilmu agama, sehgingga pada masa ini ahli-ahli ilmu
agama Islam, ahli-ahli ilmu bahasa arab, ahli-ahli ilmu alam, para filosuf dan
sebagainya.
Pada
priode inilah ilmu fiqih berkembang. Ilmu fiqih secara konvensional terdiri
dari : fiqih ibadat (fiqih tentang
persoalan-persoalan ibadah, seperi shalat, zakat, puasa dan haji), fiqih munakahat (fiqih tentang perkawinan dan
hal-hal yang berkaitan dengannya seperti waris dan hibah), fiqih mu’amalat (fiqih tentang hubungan
perdata) dan fiqih jinayat (fiqih
tentang tindak pidana dan hukumannya). Pembahasan jenis-jenis fiqih
terintegrasi menjadi satu kesatuan.
Namun
ada satu aspek dari fiqih yang sering dibahas secara terpisah, yakni fiqih siyasah atau disebut juga ilmu siyasah syar’iyah. Fiqih ini membahas
tentang tata Negara atau manajemen negara menurut Islam, yang meliputi aspek
politik, ekonomi dan hubungan antar golongan/Negara. Akan tetapi aspek politik
merupakan perhatian utama dalam fiqih siyasah ini, sehingga para penulis pada
saat ini banyak menggunakan istilah, misalnya, pemikiran politik Islam (al-fikr al-siyasi al-Islami, Isl;amic
political thought), ilmu pemerintahan Islam (al-hukumah al-islamiyyah, Islamic government), dan lain-lain.
Dengan
demikian ilmu fiqih adalah ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syari’ah yang
bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalil yang rinci. Obyek kajian ilmu
fiqih ini adalah perbuatan orang mukallaf (dewasa) dalam pandangan hukum
syari’ah, agar dapat diketahui mana yang diwajibkan, disunahkan, diharamkan,
dimakruhkan dan diperbolehkan, serta mana yang sah dan mana yang batal (tidak
sah). Meskipun dalam penggunaannya sering disamakan antara fiqih dengan
syari’ah, namun keduanya sebenarnya memiliki pengertian ynga berbeda.
Pengertian
syari’ah ini pun mengalami perkembangan, kalau semula ia difahami sebagai
segala penutura yang dating dari Allah, baik yang berupa hukum-hukum ‘akidah (ahkam I’tiqadiyah), hukum-hukum yang
bersifat praktis (ahkam ‘amaliyyah)
maupun hukum-hukum ahklaq (ahkam
khuluqiyyah), tetapi kemudian diarikan hanya sebagai hukum-hukum yang
bersifat praktis. Bedanya dengan fiqih adalah, kalau syari’ah itu merupakan
hukum-hukum yang terdapt dalam al-quran dan hadis, maka fiqih merupakan hasil
pemahaman dan interprestasi para mujtahid terhadap teks-teks al-quran dan hadis
serta hasil ijtihad meraka terhadap peristiwa yang hukumnya tidak ditemukan
didalam keduanya. Kedua istilah ini dalm bahasa non-Arabnya disebut juga
sebagai “hukum Islam” atau “Islamic law”.
Ilimu
fiqih baru muncul pada periode tabi’ al-tabi’in abad kedua hijriyah, dengan
munculnya para mujtahid di berbagai kota,
serta terbukanya pembahasan dan perdebatan tentang hukun-hukum syari’ah. Pada
masa-masa itulah di Irak muncul seorang mujtahid besar bernama Abu Hanifah
al-Nu’man ibn Tsabit (80-150 H atau 700-767 M) yang merupakan orang pertama
yang memformulasikan ilmu fiqih, tetapi ilmu ini belum dibukukan. Sementara
itu, di Madinah muncul juga seorang mujtahid besar bernama Malik ibn Anas
(93-178 H atau 713-795 M) yang memformulasikan ilmu fiqih dan membukukan
kumpulan hadis berjudul al-Muaththa’ yang
terutama berisi hukum-hukum syari’ah. Pembukuan kitab ini dilakukan atas
permintaan khalifah abu Ja’far al-Manshur (137-159 H atau 754-775 M), dengan
maksud sebagai pedoman bagi kaum muslimin dalam mengarungi kehidupan mereka.
Khalifah
Harun al-Rasyid (170-194 H atau 786-809 M) pernah berusaha untuk menjadikan
kitab ini sebagai kitab hukum yang berlaku untuk umum, tetapi usaha ini tidak
disetujui oleh Malik ibn Anas. Kitab ini kemudian menjadi dasar bagi faham
fiqih di kalangan umat Islam di Hijaz (aliran al-hadis). Sedangkan yang menjadi
pedoman bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Irak (aliran ahl al-ra’y)
adalah buku-buku yang ditilis oleh murid-murid Abu Hanifah, terutama Muhammad
ibnal-Hasan al-syaibani (102-189 H) dengan bukunya antara lain al-Jami’ al-Kabir dan al-Jami’ al-Shagir dan
Abu Yusuf (112-183 H) dengan bukunya berjudul kitab al-Kharaj (kitab tentang pajak penghasilan).
B. Sejarah Singkat Munculnya Mazhab Dalam
Islam
Ikhtilaf
telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan
pemahaman diantara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada
mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak
sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan
berlainan tempat. Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah
tersebar meluas keberbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah
tempat dan berpencar-pencar ke negara
yang baru tersebut. Dengan demikian kesempatan bertukar pikiran atau
bermusyawarah memecahkan suatu masalah sukar dilaksanakan. Qasim Abdul Aziz
Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni :
(1) Perbedaan sahabat dalam memahami nash-nash
al-quran
(2)
Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
(3)
Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu
Sementara
Jalaludin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf
dari sudut pandang yang berbeda, Ia
berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf
diantara para sahabat prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru
yang tidak terjadi pada zaman Ralulullah saw.
Setelah
berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi’in, muncullah
generasi Tabi’it Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dan Tabi’in dijadikan suri tauladan
oleh generasi penerusnya yang tersebar diberbagai daerah wilayah dan kakuasaan
Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi’it Tabi’in. Di dalam
sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua hijriyah,
dimana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah.
Masa
Daulah Abbasiyyah adalah masa keemasan
Islam, atau sering disebut dengan istilah “The
Golden Age”. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik
dalm bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang
berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan
buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian melahirkan
cendekiawan-cendekiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru
diberbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bani abbas mewarisi imperium besar Bani
Umayyah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena
landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayyah yang besar. Periode ini
dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fiqih
Islam, dimana lahir beberapa mazhab fiqih yang panji-panjinya dibawa oleh
tokoh-tokoh fiqih agung yang berjasa mengintegrasikan fiqih Islam dan
meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama
fiqih sampai sekarang.
Sebenarnya
periode ini adalah kelanjutan periode sebelumnya, karena pemikiran-pemikiran di
bidang fiqih yang diawali mazhab ahli hadis dan ra’yu merupakan penyebab
timbulnya mazhab-mazhab fiqih, dan mazhab-mazhab inilah mengaplikasikan
pemikiran-pemikiran operasional. Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah
merupakan era kelahiran mazhab-mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab
hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik
tersendiri dalam melakukan istinbat
hukum.
Kelahiran
mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik sendiri ini,tak pelak lagi
menimbulakan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang
dihasilkan. Para tokoh atau imam mazhab
seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya,
diantaranya seperti mazhab Abi Laila dan mazhab Sufyan as-Sauri yang
kebijakannya dilanjutkan oleh negara Islam yang tidak tunduk terhadap yuridiksi
kerajaan Turki Usmani masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan
kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi
pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang
dirumuskan oleh para tokoh dan para imam mazhab ini, bertujuan untuk memberikan
jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalm memecahkan berbagai
pesoalan hukum yang di hadapi baik dalam memahami nash al-Quran dan al-Hadis maupun kasus-kasus hukum yang tidak
ditemukan jawabannya dalam nash.
Teori-teori
pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab tersebut merupakan
sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut penciptaan pola kerja
dan kerangka metodologi yang sitematis dalm usaha melakukan istnbat hukum. Penciptaan pola kerja dan
kerangka metodologi tersebut inilah dalm pemikiran hukum islam disebut dengan ushul fiqh.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian
diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
- Pada priode kenabian hukum-hukum itu berupa hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hukum-hukum yang berasal dari nabi yang merupakan fatwa terhadap suatu peristiwa, putusan terhadap perselisihan atau jawaban terhadap pertanyaan. Masa Daulah Abbasiyyah dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fiqih Islam, dimana lahir beberapa mazhab fiqih yang panji-panjinya dibawa olah tokoh-tokoh fiqih agung yang berjasa mengintegrasikan fiqih Islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama fiqih sampai sekarang.
- Ilmu fiqih berkembang secara konvensional terdiri dari : fiqih ibadat, fiqih munakahat, fiqih mu’amalat dan fiqih jinayat. Pembahasan jenis-jenis fiqih terintegrasi menjadi satu kesatuan. Namun ada satu aspek dari fiqih yang sering dibahas secara terpisah, yakni fiqih siyasah atau disebut juga ilmu siyasah syar’iyah. Memasuki abad kedua Hijriah merupakan era kelahiran mazhab-mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Mun’in A. Sirry,
Sejarah Fiqh Islam, Surabaya :Risalah Gusti, Cet.I, 1995.
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, Cet.I, 1997.
0 komentar:
Posting Komentar