Senin, 10 November 2014

SEJARAH FIQIH SAMPAI TERBENTUKNYA MAZHAB



A. Sejarah Perkembangan Ilmu Fiqih
Jika kita telusuri sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw, para sejarahwan sering membaginya dalam dua periode kenabian yakni periode Mekkah dan periode Madinah. Pada periode pertama risalah kenabian berisi ajaran-ajaran akidah dan akhlaq, sedangkan pada periode kedua risalah kenabian lebih benyak berisi hukum-hukum. Pada periode kenabian hukum-hukum itu berupa hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hukum-hukum yang berasal dari nabi yang merupakan fatwa terhadap suatu peristiwa, putusan terhadap perselisihan atau jawaban terhadap pertanyaan. Dalam mengambil putusan amaliyah para sahabat tidak perlu melakukan ijtihad sendiri, karena mereka dapat langsung bertanya kepada Nabi jika mereka mendapati suatu masalah yang belum mereka katahui. Demikian juga untuk memahami kedua sumber hukum syari’ah ini para sahabat tidak membutuhkan metodologi khusus, karena mereka mendengarkannya secara langsung dari Nabi.
Sampai dengan masa empat khalifah pertama hukum-hukum syari’ah itu belum dibukukan, dan belum juga diformulasikan sebagi sebuah ilmu yang sistematis. Kemudian pada masa-masa awal periode tabi’in (masa Dinasti Umayyah) muncul aliran-aliran dalm memahami hukum-hukum syari’ah serta dalm merespons persoalan-persoalan baru yang muncul sebagai akibat semakin luasnya wilayah islam, yakni ahl al-hadis dan al-ra’y. aliran pertama, yang berpusat di Hijaz (Mekkah-Madinah), banyak menggunakan hadis dan pendapat-pendapat sahabat, serta memahaminya secara harfiah. Sedangkan aliran kedua, yang berpusat di Irak, banyak menggunakan rasio dalam merespons persoalan baru yang muncul.
Di antara ahli fatwa dari kalangan tabi’in adalah Sa’id ibnu Musayyab (13-94 H), Ibrahim al-Nakha’i (49-96 H), Hasan al-Bashri (w. 111 H), dan sebagainya. Namun demikian, pada periode ini juga belum dilakukan pembukuan hukum-hukum syari’ah, dan belum juga diformilasikan dalam ilmu bentuk fiqih. Demikian pula, metode ijtihad belum diformulasikan dalam bentuk ilmu ushul fiqih dan qawaid fiqqiyah. Ilmu-ilmu agama Islam memang baru muncul pada masa-masa awal dari Dinasti Abbasiyah (133-766 H atau 750-1258), setelah kaum Muslimian mendapatkan stabilitas keamanan di seluruh wilayah Islam.

Pada waktu itu kaum Muslimin, berada pada tingkat kehidupannya yang semakin baik, tidak lagi berkonsentrasi untuk memperluas wilayahnya, melainkan berupaya untuk membangun suatu peradaban melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Maka muncullah berbagi kegiatan dalam kaitan dengan kebangkitan ilmu pengetahuan ini, yang terdiri dari tiga bentuk, yakni :
(1) penyusunan buku-buku
(2) perumusan ilmu-ilmu Islam
(3) penterjemahan manuskrip dan buku berbahasa asing ke dalam bahasa Arab
 Ilmu pengetahuan yang berkembang tidak hanya ilmu-ilmu agama Islam saja, tetapi juga ilmu-ilmu keduniaan yang memang tak dapat dipisah dengan ilmu-ilmu agama, sehgingga pada masa ini ahli-ahli ilmu agama Islam, ahli-ahli ilmu bahasa arab, ahli-ahli ilmu alam, para filosuf dan sebagainya.
Pada priode inilah ilmu fiqih berkembang. Ilmu fiqih secara konvensional terdiri dari : fiqih ibadat (fiqih tentang persoalan-persoalan ibadah, seperi shalat, zakat, puasa dan haji), fiqih munakahat (fiqih tentang perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengannya seperti waris dan hibah), fiqih mu’amalat (fiqih tentang hubungan perdata) dan fiqih jinayat (fiqih tentang tindak pidana dan hukumannya). Pembahasan jenis-jenis fiqih terintegrasi menjadi satu kesatuan.
Namun ada satu aspek dari fiqih yang sering dibahas secara terpisah, yakni fiqih siyasah atau disebut juga ilmu siyasah syar’iyah. Fiqih ini membahas tentang tata Negara atau manajemen negara menurut Islam, yang meliputi aspek politik, ekonomi dan hubungan antar golongan/Negara. Akan tetapi aspek politik merupakan perhatian utama dalam fiqih siyasah ini, sehingga para penulis pada saat ini banyak menggunakan istilah, misalnya, pemikiran politik Islam (al-fikr al-siyasi al-Islami, Isl;amic political thought), ilmu pemerintahan Islam (al-hukumah al-islamiyyah, Islamic government), dan lain-lain.
Dengan demikian ilmu fiqih adalah ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syari’ah yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalil yang rinci. Obyek kajian ilmu fiqih ini adalah perbuatan orang mukallaf (dewasa) dalam pandangan hukum syari’ah, agar dapat diketahui mana yang diwajibkan, disunahkan, diharamkan, dimakruhkan dan diperbolehkan, serta mana yang sah dan mana yang batal (tidak sah). Meskipun dalam penggunaannya sering disamakan antara fiqih dengan syari’ah, namun keduanya sebenarnya memiliki pengertian ynga berbeda.
Pengertian syari’ah ini pun mengalami perkembangan, kalau semula ia difahami sebagai segala penutura yang dating dari Allah, baik yang berupa hukum-hukum ‘akidah (ahkam I’tiqadiyah), hukum-hukum yang bersifat praktis (ahkam ‘amaliyyah) maupun hukum-hukum ahklaq (ahkam khuluqiyyah), tetapi kemudian diarikan hanya sebagai hukum-hukum yang bersifat praktis. Bedanya dengan fiqih adalah, kalau syari’ah itu merupakan hukum-hukum yang terdapt dalam al-quran dan hadis, maka fiqih merupakan hasil pemahaman dan interprestasi para mujtahid terhadap teks-teks al-quran dan hadis serta hasil ijtihad meraka terhadap peristiwa yang hukumnya tidak ditemukan didalam keduanya. Kedua istilah ini dalm bahasa non-Arabnya disebut juga sebagai “hukum Islam” atau “Islamic law”.
Ilimu fiqih baru muncul pada periode tabi’ al-tabi’in abad kedua hijriyah, dengan munculnya para mujtahid di berbagai kota, serta terbukanya pembahasan dan perdebatan tentang hukun-hukum syari’ah. Pada masa-masa itulah di Irak muncul seorang mujtahid besar bernama Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit (80-150 H atau 700-767 M) yang merupakan orang pertama yang memformulasikan ilmu fiqih, tetapi ilmu ini belum dibukukan. Sementara itu, di Madinah muncul juga seorang mujtahid besar bernama Malik ibn Anas (93-178 H atau 713-795 M) yang memformulasikan ilmu fiqih dan membukukan kumpulan hadis berjudul al-Muaththa’ yang terutama berisi hukum-hukum syari’ah. Pembukuan kitab ini dilakukan atas permintaan khalifah abu Ja’far al-Manshur (137-159 H atau 754-775 M), dengan maksud sebagai pedoman bagi kaum muslimin dalam mengarungi kehidupan mereka.
Khalifah Harun al-Rasyid (170-194 H atau 786-809 M) pernah berusaha untuk menjadikan kitab ini sebagai kitab hukum yang berlaku untuk umum, tetapi usaha ini tidak disetujui oleh Malik ibn Anas. Kitab ini kemudian menjadi dasar bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Hijaz (aliran al-hadis). Sedangkan yang menjadi pedoman bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Irak (aliran ahl al-ra’y) adalah buku-buku yang ditilis oleh murid-murid Abu Hanifah, terutama Muhammad ibnal-Hasan al-syaibani (102-189 H) dengan bukunya antara lain al-Jami’ al-Kabir dan al-Jami’ al-Shagir dan Abu Yusuf (112-183 H) dengan bukunya berjudul kitab al-Kharaj (kitab tentang pajak penghasilan).
B. Sejarah Singkat Munculnya Mazhab Dalam Islam
Ikhtilaf telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman diantara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat. Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas keberbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke negara  yang baru tersebut. Dengan demikian kesempatan bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan suatu masalah sukar dilaksanakan. Qasim Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni :
 (1) Perbedaan sahabat dalam memahami nash-nash al-quran
(2) Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
(3) Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu
Sementara Jalaludin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf  dari sudut pandang yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf diantara para sahabat prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Ralulullah saw.
Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi’in, muncullah generasi Tabi’it Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dan Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar diberbagai daerah wilayah dan kakuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi’it Tabi’in. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua hijriyah, dimana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah.
Masa Daulah Abbasiyyah  adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah “The Golden Age”. Pada masa itu Umat Islam telah mencapai puncak kemuliaan, baik dalm bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab. Fenomena ini kemudian melahirkan cendekiawan-cendekiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru diberbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bani abbas mewarisi imperium besar Bani Umayyah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayyah yang besar. Periode ini dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fiqih Islam, dimana lahir beberapa mazhab fiqih yang panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh fiqih agung yang berjasa mengintegrasikan fiqih Islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama fiqih sampai sekarang.
Sebenarnya periode ini adalah kelanjutan periode sebelumnya, karena pemikiran-pemikiran di bidang fiqih yang diawali mazhab ahli hadis dan ra’yu merupakan penyebab timbulnya mazhab-mazhab fiqih, dan mazhab-mazhab inilah mengaplikasikan pemikiran-pemikiran operasional. Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah merupakan era kelahiran mazhab-mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat hukum.
Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik sendiri ini,tak pelak lagi menimbulakan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, diantaranya seperti mazhab Abi Laila dan mazhab Sufyan as-Sauri yang kebijakannya dilanjutkan oleh negara Islam yang tidak tunduk terhadap yuridiksi kerajaan Turki Usmani masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para imam mazhab ini, bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalm memecahkan berbagai pesoalan hukum yang di hadapi baik dalam memahami nash al-Quran dan al-Hadis maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nash.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sitematis dalm usaha melakukan istnbat hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi tersebut inilah dalm pemikiran hukum islam disebut dengan ushul fiqh.
 

PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
  1. Pada priode kenabian hukum-hukum itu berupa hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hukum-hukum yang berasal dari nabi yang merupakan fatwa terhadap suatu peristiwa, putusan terhadap perselisihan atau jawaban terhadap pertanyaan. Masa Daulah Abbasiyyah dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fiqih Islam, dimana lahir beberapa mazhab fiqih yang panji-panjinya dibawa olah tokoh-tokoh fiqih agung yang berjasa mengintegrasikan fiqih Islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama fiqih sampai sekarang.
  2. Ilmu fiqih berkembang secara konvensional terdiri dari : fiqih ibadat, fiqih munakahat, fiqih mu’amalat dan fiqih jinayat. Pembahasan jenis-jenis fiqih terintegrasi menjadi satu kesatuan. Namun ada satu aspek dari fiqih yang sering dibahas secara terpisah, yakni fiqih siyasah atau disebut juga ilmu siyasah syar’iyah. Memasuki abad kedua Hijriah merupakan era kelahiran mazhab-mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat hukum.



DAFTAR PUSTAKA
Mun’in A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Surabaya :Risalah Gusti, Cet.I, 1995.
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Fiqih, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cet.I, 1997.
Share:
Lokasi: Banjarbaru, South Kalimantan, Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar

Jasaview.com

Dilihat 30 Hari Terakhir

Jasaview.com
Jasaview.com