A. Hak Dan Kewajiban Suami
Isteri Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia
Masalah hak dan kewajiban suami isteri dalam
Undang-Undang Perkawinan diatur dalam Bab VI pasal 30 sampai dengan pasal 34.
Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Bab XII pasal 77 sampai
dengan pasal 84. Pasal 30 UU Perkawinan menyatakan :”Suami isteri memikul
kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar
dari susunan masyarakat”. Dalam rumusan Kompilasi pasal 77 ayat (1) berbunyi : “Suami istri mempunyai kewajiban
yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.
Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan :
(1)
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam
masyarakat.
(2)
Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum.
(3)
Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah
tangga.
Ketentuan pasal 31 tersebut, dalam Kompilasi diatur dalam Bagian Kedua
tentang Kedudukan Suami Isteri pasal 79.
Selanjutnya pasal 32 UU Perkawinan menegaskan :
(1)
Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang
tetap.
(2)
Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.
Isi pasal 32 UU Perkawinan tersebut, dalam Kompilasi dituangkan dalam pasal 78.
Dalam pasal 33 UU Perkawinan menegaskan,”sumai isteri wajib saling
mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu
kepada yang lain”. Dalam Kompilasi diatur dalam pasal 77 ayat (2). Selanjutnya ayat (3), (4), dan (5)
berturut-turut dikutip dibawah ini :
Suami
isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik
mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan
agamanya.
Suami
isteri wajib memelihara kehormatannya.
Jika
suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 34 UU Perkawinan menegaskan :
(1)
Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2)
Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga
sebaik-baiknya.
Adapun ayat (3) isi dan bunyinya sama dengan ayat (5)
pasal 77 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Pengaturan ketentuan hak dan kewajiban suami isteri
dalam kompilasi lebih sistematis dibanding dalam Undang-Undang Perkawinan. Hal
ini tentu dapat dimaklumi, karena kompilasi dirumuskan belakangan, setelah 17
tahun sejak Undang-Undang Perkawinan dikeluarkan. Sementara dalam Undang-Undang
Perkawinan pengaturan hak suami dan isteri lebih bersifat umum. Dibawah ini
akan dikutip ketentuan-ketentuan yang lebih rinci dari Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 79 :
(1)
Suami adalah kepala keluarga, dan isteri ibu rumah
tangga.
(2)
Hak dan kedudukan
isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat.
(3)
Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum.
Pasal 80 Kompilasi mengatur kewajiban suami terhadap
isteri dan keluarganya. Pasal ini terdiri dari 7 ayat, sebagai berikut :
(1)
Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah
tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangganya yang
penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.
(2)
Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(3)
Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya
dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi
agama, nusa, dan bangsa.
(4)
Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a.
nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi isteri.
b.
biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya
pengobatan bagi isteri dan anak.
c.
biaya pendidikan bagi anak.
(5)
Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut
pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna
dari isterinya.
(6)
Isterinya dapat membebaskan suaminya dari kewajiban
terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
(7)
Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur
apabila isteri nusyuz.
Tentang kewajiban suami untuk menyediakan tempat
kediaman, Kompilasi mengaturnya tersendiri dalam pasal 81 sebagai berikut :
(1)
Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan
anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.
(2)
Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk
isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.
(3)
Tempat kediaman disedeiakan untuk melindungi isteri dan
anak-anaknya dari gangguan dari pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan
tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta
kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
(4)
Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan
kemampuan serta sesuai dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, bai berupa
alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.
Adapun kewajiban isteri yang dalam UU Perkawinan pasa 34
diatur secara garis besar pada ayat (2), dalam Kompilasi diatur secara lebih
rinci dalam pasal 83 dan 84.
Pasal 83 :
(1)
Kewajiban utama bagi seorang isteri ialah berbakti
lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum
Islam.
(2)
Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluam rumah
tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
Pasal 84 :
(1)
Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau
melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1)
kecuali dengan alasan yang sah.
(2)
Selama isteri dalam keadaan nusyuz, kewajiban suami
terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak brlaku
kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
(3)
Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku
kembali sesudah isteri tidak nusyuz.
(4)
Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari
isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.
Mengenai teknis penyelesaian yang harus ditempuh si
suami manakala isterinya nusyuz, dijelaskan dalam surah al-Nisa’, 4 : 34 yaitu
:
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم
على بعض وبما أنفقوا من أموالهم فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله
واللاتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبغوا
عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا.
Artinya :
Kaum laki-laki
itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka
wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. al-Nisa’ 4 : 43)
Penjelasan
tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
Pertama, isteri
yang nusyuz tersebut dinasihati secara baik-baik. Tentu saja dalam hal ini
menuntut kearifan suami, sekaligus mawas diri, bagaimana sesungguhnya si isteri
sampai nusyuz. Kedewasaan sikap dan pikir suami, sangat dibutuhkan dalam
penyelesaian nusyuz tersebut.
Kedua, dengan
cara pisah tidur. Ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada isteri untuk
memikirkan tindakannya, apakah nusyuz yang dilakukannya itu cukup beralasan.
Dan yang lebih penting adalah agar si isteri mengubah sikapnya dan kembali
bergaul secara baik kepada suaminya.
Ketiga, apabila
dua cara tersebut telah ditempuh suami ternyata belum membuahkan hasil, maka
cara yang terakhir adalah dengan memberi pelajaran kepada si isteri, yang dalam
bahasa al-Quran di sebut “memukul”. Batasan yang perlu diketahui suami dalam
langkah ketiga ini, adalah memberi pelajaran yang tidak sampai mengakibatkan
penderitaan isteri.
B. Harta Benda Dalam Hukum Perkawinan
Di Indonesia
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengatur harta kekayaan dalam perkawinan, pada Bab VII dalam judul harta benda
dalam perkawinan. Bab ini terdiri dari tiga pasal. Selengkapnya akan dikutip
berikut ini :
Pasal 35 :
(1)
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama.
(2)
Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah
dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Jadi pengertian harta bersama adalah harta kekayaan yang
diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan. Maksudnya adalah harta
yang didapat atas usaha mereka, atau sendiri-sndiri selama masa ikatan
perkawinan.[1]Dalam konteks
konvensional, beban ekonomi keluarga adalah hasil pencarian suami, sedangkan
isteri sebagai rumah tangga bertindak sebagai manajer yang mengatur manajemen
ekonomi rumah tangganya. Dalam pengertian lebih luas, sejalan dengan tuntutan
perkembangan, isteri juga dapat melakukan pekerjaan yang dapat mendatangkan
kekayaan.
Dalam kenyataannya, masih lebih banyak pola yang pertama
dalam kehidupan perkawinan. Yaitu suami yang nyatanya melakukan perkerjaan, dan
isteri sebagai ibu rumah tangga. Oleh karena itu hendaknya, bekerja, tidak
selalu diartikan berkerja diluar rumah. Demikianlah yang dimaksud pasal 35 ayat
(1). Adapun ayat (2) menjelaskan bahwa kekayaan yang diperoleh dengan cara
warisan atau hadiah, tidak dapat dikategorikan sebagai kekayaan bersama. Ini
sejalan dengan firman Allah SWT :
ولا تتمنوا ما فضل الله به بعضكم على بعض
للرجال نصيب مما اكتسبوا وللنساء نصيب مما اكتسبن واسألوا الله من فضله إن الله
كان بكل شيء عليما.
Artinya :
Dan janganlah kamu iri hati
terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari
sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa
yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Nisa’ 4 : 32)
Isyarat dan penegasan ayat tersebut dijelaskan lebih
lanjut dalam Kompilasi pasal 85, 86 dan 87. Secara berurutan akan di kutip di
sini :
Pasal 85 :
Adanya
harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik
masing-masing suami atau isteri.
Pasal 86 :
(1)
Pada dasarnya tidak ada pencampuran antara harta suami
dan harta isteri karena perkawinan.
(2)
Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai
penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi
penuh olehnya.
Pasal 87 :
(1)
Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan
harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah
pengusaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menetukan lain dalam
perjanjian perkawinan.
(2)
Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah,
sodaqoh atau lainnya.
Mengenai penggunaan harta bersama suami isteri, diatur dalam
pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan sebagai berikut : “Mengenai harta bersama suami
isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”. Adapun ayat (2) : “ Mengenai
harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”. Dan mengenai kewenangan
penyelesaian sengketa harta bersama
diatur dalam pasal 37 UU Perkawinan sebagai berikut : “Bila perkawinan putus
karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing”. Yang
dimaksud “hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat, dan
hukum-hukum lainnya.
Pengaturan lebih rinci masalah ini, Kompilasi mengatur
dalam pasal 88, 89 dan 90.
Pasal 88 :
Apabila
terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka
penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 89 :
Suami
bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri.
Pasal 90 :
Isteri
turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada
padanya.
Pengaturan tentang bentuk harta bersama dijelaskan dalam
pasal 93 Kompilasi :
(1)
Harta bersama sebegaimana tersebut dalam pasal 85 di
atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
(2)
Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak
bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.
(3)
Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak
maupun kewajiban.
(4)
Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan
oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Penjelasan pasal 93 tersebut menunjukkan adanya nuansa
modern, seperti surat-surat berharga (polis, saham, dan lain-lain). Dengan
demikian pengertian harta bersama mejadi sangat luas, tidak hanya barang-barang
yang secara material langsung dapat dikonsumsi. Apabila harta bersama tersebut
digunakan salah satu pihak, tidak atas persetujuan pihak lainnya, maka tindakan
hukum demikian tidak diperbolehkan.”Suami atau isteri tapa persetujuan pihak
lain tidak diperbolehkan menjual atau memindah harta bersama” (ps. 92 KHI). Hal
ini dimaksudkan agar masing-masing pihak dapat melakukan hal-hal yang berurusan
dengan soal rumah tangga dengan penuh tanggung jawab. Tanpa adanya persetujuan
tersebut, kemungkinan terjadinya penyimpangan besar sekali. Oleh karena itu
Kompilasi dalam pasal berikut, membicarakan pertanggungjawaban utang yang
bersifat pribadi, bukan untuk kepentingan keluarga.
Pasal 93 :
(1)
Pertanggungjawaban terhadap utang suami atau isteri
dibebankan pada hartanya masing-masing.
(2)
Pertanggungjawaban terhadap utang yang dilakukan untuk
kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
(3)
Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada
harta suami.
(4)
Bila harta suami tidak ada atau tidak mecukupi
dibebankan kepada harta isteri.
Dalam kaitannya dengan perkawinan poligami, Kompilasi
mengaturnya dalam pasal 94 :
(1)
Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri
sendiri.
(2)
Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami
yang mempunyai isteri lebh dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1) dihitung
pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau keempat.
Ketentuan ini dimaksudkan agar antara isteri pertama, kedua, ketiga dan
atau keempat tidak terjadi perselisihan, termasuk mengantisipasi kemungkinan
gugat warisan di antara masing-masing keluarga dari isteri-isteri tersebut.
Dalam pasal 95 Kompilasi dibicarakan tentang
tindakan-tindakan tertentu pada saat salah satu pihak melakukan perbuatan yang
merugikan dan membahayakan harta bersama, seperti : judi, mabok, boros, dan
lain-lain.
(1)
Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2)
huruf c Peraturan Pemerintah Nho. 9 Tahun 1975 dan pasal 136 (2), suami atau
isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta
bersama tanp adanya permohonan gugat cerai, pabila salah satu melakukan
perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti : judi, mabok,
boros, dan sebagainya.
(2)
Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta
bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
Mengenai pembagian harta bersama Kompilasi mengaturnya
dalam pasal 96 dan pasal 97, sebagai berikut :
Pasal 96 :
(1)
Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama
menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
(2)
Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri
yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian
matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan
Agama.
Pasal 97 :
Janda
atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1.
Pasal 30 UU Perkawinan menyatakan :”Suami isteri memikul
kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar
dari susunan masyarakat”. Dalam rumusan Kompilasi pasal 77 ayat (1) berbunyi :
Suami istri mempunyai kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.
Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan : (1) Hak dan
kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat. (2) Masing-masing pihak berhak
untuk melakukan perbuatan hukum. (3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri
ibu rumah tangga. Ketentuan pasal 31 tersebut, dalam Kompilasi diatur dalam
Bagian Kedua tentang Kedudukan Suami Isteri pasal 79.
2.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengatur harta kekayaan dalam perkawinan, pada Bab VII dalam judul harta benda
dalam perkawinan. Bab ini terdiri dari tiga pasal yaitu pasal 35, 36 dan 37.
Dalam Kompilasi Hukum Islam diatur lebih rinci diantaranya terdapat dalam pasal
85, 86, 87, dan seterusnya sampai dengan pasal 97 tentang perihal harta benda
dalam perkawinan.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs. Ahmad Rofiq, M.A. Hukum Islam Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2003.
Drs. H. Abdul Manan, S.H, S.IP., H.Hum. Drs. M. Fauzan, S.H. Pokok-Pokok
Hukum Perdata, Wewenang Peradilan Agama, Rajawali Pers, Jakarta, 2002.
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta UI Press, Cet. V, 1986.
0 komentar:
Posting Komentar