Rabu, 31 Juli 2013
Taubat Meninggalkan Shalat, Apa Harus Mengadha' Semua Shalat Tersebut?
Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah.
Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-,
keluarga dan para sahabatnya.
Ulama berbeda pendapat tentang hukum
orang muslim yang meninggalkan shalat dengan sengaja apabila dia tidak
menentang kewajibannya. Sebagian ulama menghukuminya telah kafir dan
keluar dari Islam (murtad). Dia diberi kesempatan taubat tiga hari, jika
ia bertaubat maka ia menjadi muslim kembali. Jika tidak mau maka ia
dibunuh sebagai hukuman atas kemurtadannya. Jenazahnya tak boleh
dishalatkan dan dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Tak boleh
dimintakan ampunan dan rahmat untuknya. Dan semua ketentuan atas orang
murtad berlaku padanya dalam urusan warisan dan harta peninggalannya.
Pendapat kedua, jika seseorang
meninggalkan shalat dengan menentang kewajibannya (menyatakan shalat
tidak wajib atasnya) maka ia telah kafir dan murtad (keluar) dari agama
Islam. Ketentuan atasnya sebagaimana ketentuan di atas. Jika ia tidak
menentang kewajiban shalat –misal: ia meninggalkannya karena malas- maka
ia dihukumi sebagai pelaku dosa yang sangat besar, tapi ia tidak keluar
dari agama Islam. Ia diberi kesempatan taubat tiga hari, jika taubat
maka Alhamdulillah. Jika tidak mau taubat, ia dibunuh sebagai ketentuan hukum had atas orang meninggalkan shalat bukan karena ia kafir.
Meninggalkan Shalat Karena Lupa atau Tertidur
Bagi orang yang meninggalkan shalat
karena sebab udzur syar’i seperti lupa dan tertidur maka ia wajib
mengadha’ shalat yang telah ditinggalkannya. Ini sudah menjadi
kesepakatan para ulama berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
مَن نسيَ الصَّلاة، فليصلِّها إذا ذكرها؛ فإنَّ الله تعالى يقول: وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي
“Siapa yang lupa shalat (tidak
shalat karena lupa), maka hendaknya ia mengerjakannya apabila ia telah
ingat. Karena Allah Ta’ala berfirman, “Dan Tegakkanlah shalat untuk
mengingatku”.” (HR. Muslim)
Dan sabda beliau yang lain,
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Siapa yang lupa terhadap satu
shalat atau tertidur dari menjalankannya (pada waktunya) maka kafarah
(tebusan)-nya adalah ia menjalankannya apabila telah mengingatnya.” (Muttafaq ‘Alaih)
Di Shahih Muslim disebutkan, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ
“Siapa lupa mengerjakan shalat, maka hendaknya ia mengerjakannya apabila ingat; tidak ada kafarah baginya kecuali itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim; lafadz milik Muslim)
Meninggalkan Shalat dengan Sengaja Karena Malas
Kemudian bagaimana jika ada orang yang
sudah terlanjur ia meninggalkan shalat dengan sengaja karena malas, lalu
ia menyesali perbuatannya tersebut dan ingin taubat? Apakah ia wajib
mengqadha’ semua shalat yang telah ditingalkannya?
Orang yang telah meninggalkan shalat
dengan sengaja karena malas dan bertaubat darinya maka pendapat yang
lebih kuat –wallahu a’lam- ia tidak wajib mengqadha’ shalat-shalat yang
telah ditinggalkannya tersebut. Inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah, Ibnu Hazm, dan sebagian ulama madhab Syafi’iyah.
Bahkan, jika tetap dikerjakan maka
shalat tersebut tidak sah dan tak akan diterima karena dikerjakan di
luar waktunya. Ia meninggalkan (mengakhirkan) dari shalat bukan karena
udzur syar’i. Sehingga jika tetap dilakukan tidak akan diterima.
Alasannya, perintah untuk melaksanakan
shalat itu bukan perintah untuk mengqadha’nya. Maknanya, mengqadha’
shalat-shalat yang telah ditinggalkan dengan sengaja itu membutuhkan
dalil (perintah) baru. Sementara pelakunya yang sudah taubat tidak lepas
dari dua kondisi: Pertama, sebelumnya ia
menjadi kafir karena meningalkan shalat dengan sengaja, lalu ia kembali
kepada Islam kembali, maka Islamnya itu menutup dosa-dosa sebelumnya.
Sehingga ia tidak dituntut untuk mengqadha’ shalat atau shaum.
Kedua,
kondisinya sebagai pelaku maksiat saja, bukan kafir. Jika ia telah
taubat, maka taubatnya tersebut menutup dosa-dosa sebelumnya. Terlebih
lagi, jika tetap wajib mengqadha’ shalat, maka bagaimana dengan orang
yang telah meninggalkan shalat dengan sengaja berbulan-bulan atau
bertahun-tahun. Tentunya ini akan meyersulitkan orang dalam bertaubat
darinya.
Memang diakui, di sana ada pendapar
Jumbur ulama yang tetap mewajibkan orang yang bertaubat dari
meninggalkan shalat agar mengqadha’nya. Mereka berdalil dengan
hadits-hadits qadha’ atas orang yang meningalkan shalat karena tertidur
dan lupa. Wallahu Ta’ala A’lam. SumberMinggu, 14 Juli 2013
Tidur Habis Ashar Dilarang, Benarkah?
Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Perlu diketahui, tidak terdapat hadits shahih dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam ataupun perkataan para sahabat yang
menerangkan tentang tidur sesudah 'Ashar, baik yang berisi pujian
ataupun celaan. Adapun beberapa hadits yang berbicara tentangnya
sebagiannya dhaif dan sebagian lagi maudhu' (palsu). Seperti ungkapan
yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
عجبت لمن عام ونام بعد العصر
"Aku heran dengan orang yang terbaring dan tidur sesudah 'Ashar,"
tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Tak seorangpun ulama yang
menyebutkannya. Ungkapan tersebut adalah hadits palsu dan tidak memiliki
sumber. Tidak boleh meyakini keabsahannya. Tidak boleh pula
menisbatkannya kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, karena berdusta atas nama beliau termasuk dosa besar.
Terdapat hadits lain tentang celaan
tidur sesudah 'Ashar yang juga tidak bisa dijadikan sandaran, padahal
sudah sangat terkenal, yaitu:
مَنْ ناَمَ بَعْدَ اْلعَصْرِ فَاخْتُلِسَ عَقْلُهُ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
"Barangsiapa yang tidur setelah
‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang ingatan), maka janganlah
sekali-sekali ia mencela selain dirinya sendiri."
Syaikh al-Albani mengomentarinya dalam
Silsilah al-Ahadits al-Dhaifah (1/112): Dhaif. Dikeluarkan Ibnu Hibban
dalam "Al-Dhu'afa' wa al-Majruhin" (1/283) dari jalur Khalid bin
al-Qasim, dari al-Laits bin Sa'ad, dari Uqail, dari al-zuhri, dari
'Urwah, dari 'Aisyah secara marfu'.
Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnul
Jauzi dalam "al-Maudhu'at" (3/69), beliau berkata: "Tidak shahih, Khalid
adalah kadzab (pendusta). Hadits ini milik Ibnu Lahii'ah lalu diambil
Khalid dan disandarkan kepada al-Laits.
Imam al-Suyuthi di dalam al-La’aali
(2/150) berkata, “Al-Hakim dan perawi lainnya mengatakan: Khalid hanya
menyisipkan nama al-Laits dari hadits Ibnu Lahii’ah.” Kemudian
al-Suyuthi menyebutkannya dari jalur Ibnu Lahii’ah. Sesekali ia berkata:
Dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’.
Terkadang ia berkata: Dari Ibn Syihab, dari Anas secara marfu’.
Ibn Lahii’ah dinilai Dha’if karena
hafalannya. Beliau juga diriwayatkan dari jalur lain: Dikeluarkan oleh
Ibnu ‘Adi dalam al-Kaamil (1/211); dan al-Sahmi di dalam Taarikh Jurjaan
(53), darinya (Ibn Lahii’ah), dari ‘Uqail, dari Makhul secaa marfu’ dan
mursal. Keduanya (Ibn ‘Adi dan as-Sahmi) mengeluarkannya dari jalur
Marwan, ia berkata: "Aku bertanya kepada al-Laits bin Sa’ad – aku pernah
melihatnya tidur setelah ‘Ashar di bulan Ramadhan-, "Wahai Abu
al-Harits! Kenapa kamu tidur setelah ‘Ashar padahal Ibnu Lahii’ah telah
meriwayatkan hadits seperti itu kepada kita..?" lalu ia (Marwan)
membacakannya (hadits di atas). Maka al-Laits menjawab, “Aku tidak akan
meninggalkan sesuatu yang berguna bagiku hanya karena hadits Ibn
Lahii’ah dari ‘Uqail.!”
Kemudian Ibn ‘Adi meriwayatkan dari
jalur Manshur bin ‘Ammar: "Ibnu Lahii’ah menceritakan kepada kami’, dari
‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya."
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh
Abu Ya’la dan Abu Nu’aim di dalam "ath-Thibb an-Nabawi" (2/12), dari
‘Amru bin al-Hushain, dari Ibnu ‘Ilaatsah, dari al-Auza’i, dari
az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah secara marfu’. ‘Amr bin al-Hushain
ini adalah seorang pembohong sebagaimana yang dikatakan al-Khathib dan
ulama hadits lainnya. Ia perawi hadits lain tentang keutamaan ‘Adas
(sejenis makanan), dan itu merupakan hadits palsu. (Selesai dari
perkataan Syaikh al-albani rahimahullah)
Hukum Tidur Habis 'Ashar
Terdapat dua pendapat yang masyhur di kalangan ulama tentang tidur sesudah 'Ashar. Pertama,
hukumnya makruh sebagaimana yang disebutkan oleh banyak fuqaha' dalam
kitab-kitab fikih mereka. Sebagian yang lain berdalil dengan hadits
dhaif di atas. Ada juga yang berdalil dengan sebagian ucapan para salaf
dan kajian kesehatan.
Khawat bin Jubair –dari kalangan
sahabat- berkata tentang tidur di sore hari, ia tindakan bodoh.
Sedangkan Makhul dari kalangan Tabi'in membenci tidur sesudah 'Ashar dan
khawatir orangnya akan terkena gangguan was-was.
Ibnu Muflih dalam al-Adab al-Syar'iyyah
(3/159) dan Ibnu Abi Ya'la dalam Thabaqat al-Hanbilah (1/22) menukil
keterangan, Imam Ahmad bin Hambal memakruhkan bagi seseorang tidur
sesudah 'Ashar, beliau khawatir akan (kesehatan) akalnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam
Zaad al-Ma'ad (4/219) siang hari adalah buruk yang bisa menyebabkan
berbagai penyakit dan bencana, menyebabkan malas, melemahkan syahwat
kecuali pada siang hari di musim panas. Dan yang paling buruk, tidur di
pagi hari dan di ujung hari sesudah 'Ashar.
Ibnu Abbas pernah melihat anaknya tidur
pagi, lalu beliau berkata kepadanya: "Bangunlah, apakah kamu (senang)
tidur pada saat dibagi rizki?". . . dan sebagian ulama salaf berkata:
"Barangsiapa yang tidur setelah ‘Ashar, lalu akalnya dicuri (hilang
ingatan), maka janganlah sekali-sekali ia mencela selain dirinya
sendiri." (Lihat: Mathalib Ulin Nuha (1/62), Ghada' al-Albab (2/357),
Kasysyaf al-Qana' (1/79), Al-Adaab al-Syar'iyyah milik Ibnu al-Muflih
(3/159), Adab al-Dunya wa al-Dien: 355-356, Syarh Ma'ani al-Atsar
(1/99).
Pendapat kedua:
Membolehkan tidur sesudah 'Ashar. Karena hukum asal dari tidur adalah
mubah, dan tidak ada hadits shahih yang melarangnya. Padahal hukum
syar'i itu diambil dari hadits-hadits shahih, bukan dari hadits-hadits
lemah apalagi hadits palsu yang didustakan atas nama Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, dan tidak pula ditetapkan dari pendapat-pendapat manusia.
Syaikh Al-Albani dalam al-Silsilah
al-Dhaifah no. 39, sesudah beliau menyebutkan keterangan dari al-Laits
bin Sa'ad, seorang faqih dari Mesir yang sangat terkenal yang
mengingkari larangan tidur habis 'Ashar yang sudah disebutkan di atas,
berkata:
"Saya sangat terpukau dengan jawaban
al-Laits tersebut yang menunjukkan kefaqihan dan keilmuannya. Tentunya
itu tidak aneh, sebab ia termasuk salah satu dari ulama tokoh kaum
Muslimin dan seorang ahli fiqih yang terkenal. Dan saya tahu persis,
banyak syaikh-syaikh (ulama-ulama) saat ini yang enggan untuk tidur
setelah ‘Ashar sekali pun mereka membutuhkan hal itu. Jika dikatakan
kepadanya bahwa hadits mengenai hal itu adalah Dha’if (lemah), pasti ia
langsung menjawab, “Hadits Dha’if boleh diamalkan dalam Fadha’il
al-A’maal (amalan-amalan yang memiliki keutamaan)!” Karena itu,
renungkanlah perbedaan antara kefaqihan Salaf (generasi terdahulu) dan
keilmuan Khalaf (generasi belakang).” Selesai keterangan dari beliau.
Fatwa Lajnah Daimah
Dalam fatawa al-Lajnah al-daimah
(26/148) disebutkan satu pertanyaan: "Aku pernah mendengar dari
orang-orang yang mengharamkan tidur sesudah 'Ashar, apakah pendapat itu
benar?"
Lalu dijawab: "Tidur sesudah 'Ashar
termasuk bagian dari kebiasaan yang dilakukan sebagian orang, dan itu
tidak apa-apa. Sementara habitd-hadits yang melarang tidur sesudah
'Ashar tidak shahih." Selesai nukilan.
. . . keterangan ulama salaf yang melarangnya, maka itu dibawa kepada kemakruhan (tidak disuka/tidak dianjurkan) ditinjau dari sisi kesehatan, bukan dari sisi syar'i.. . .
Mana yang Lebih Kuat?
Nampaknya pendapat kedua yang lebih rajih (kuat) karena hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam
yang menerangkan akan larangan itu tidak shahih. Sementara keterangan
ulama salaf yang melarangnya, maka itu dibawa kepada kemakruhan (tidak
disuka/tidak dianjurkan) ditinjau dari sisi kesehatan, bukan dari sisi
syar'i. Yakni pada zaman dahulu masyhur di kalangan bangsa Arab dan para
tabib terdahulu, tidur sesudah 'Ashar itu tidak sehat dan
bisa membahayakan fisik, maka mereka memakruhkan orang-orang tidur
sesudah 'Ashar supaya badannya tidak sakit, tanpa menyandarkan kepada
sunnah atau tasyri'. Maka urusan ini dikembalikan kepada dokter atau
ahli kesehatan, jika benar-benar itu mengandung bahaya dan keburukan
maka seseorang tidak dibolehkan melakukan sesuatu yang membahayakan
dirinya. Sementara syariat, pada dasarnya tidak melarang hal itu.
Wallahu Ta'ala a'lam.SumberSedekah; Sebab Keberkahan dan Bertambahnya Rizki
Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Sebagian orang masih juga mengira bahwa
mengeluarkan harta dalam bentuk zakat, infak dan sedekah / shadaqah fi
sabilillah akan mengurangi jumlah nominal harta dan menyebabkan
kefakiran. Hal ini wajar, karena sifat dasar manusia adalah pelit.
Ditambah lagi syetan selalu menakut-nakuti orang yang akan berinfak
dengan kefakiran. Tujuannya agar mereka tidak mendapat pahala dan
kebaikan yang menjadi sarana masuk surga.
Allah Ta'ala berfirman,
الشَّيْطَانُ
يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ
مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
"Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat buruk (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 268)
Bekerja Waktu Pagi Datangkan Keberkahan
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah,
Rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rasulillah –Shallallahu
'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Diantara jalan untuk meraih keberkahan
dari Allah adalah dengan menanamkan semangat untuk hidup sehat dan
produktif, serta menyingkirkan sifat malas sejauh-jauhnya. Caranya,
senantiasa memanfaatkan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala
dengan hal-hal yang berguna dan mendatangkan kemaslahatan bagi hidup
kita. Termasuk memanfaatkan waktu yang paling baik untuk memulai bekerja
dan mencari rizki, yakni waktu pagi. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah memanjatkan doa keberkahan untuk umatnya;
اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا
”Ya Allah, berkahilah untuk ummatku
waktu pagi mereka.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah,
dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani).
Hikmah dikhususkannya waktu pagi dengan
doa keberkahan, lantaran waktu pagi merupakan waktu dimulainya berbagai
aktivitas manusia. Sebagaimana firman Allah yang menyebutkan waktu nahar
(siang) sebagai tempat mencari penghidupan, “Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” (QS. Al-Naba’: 11)
Jika seseorang menyambut ayat di atas
dari awalnya, niscaya ia akan mendapat keberkahan dalam waktu paginya.
Ditambah lagi dengan kondisi seseorang yang masih cukup semangat karena
dia usai beristirahat di malam hari. Oleh karenanya, beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam mendoakan keberkahan pada waktu pagi ini agar seluruh umatnya memperoleh bagian dari doa tersebut.
Keutamaan Ilmu Menurut Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah
Oleh: Ustadz Fuad Al-Hazimi
Ilmu adalah pemberi petunjuk (hidayah) dan merupakan kondisi (keadaan) yang benar yang dengannya seseorang akan mendapatkan hidayah. Ilmu merupakan peninggalan para Nabi dan warisan mereka, sedangkan ahlul ilmi (ulama) adalah ashabah dan ahli warisnya.
Ilmu
adalah pemberi kehidupan hati, cahaya nurani (bashirah), penyembuh
(penyakit di dalam) dada, latihan bagi otak, pemberi kelezatan bagi
jiwa, yang melembutkan mereka yang hatinya keras dan buas. Pemberi
petunjuk bagi mereka yang kebingungan.
Ilmu
adalah tolak ukur yang dengannya segala ucapan, perbuatan dan keadaan
diukur dan ditimbang. Ia juga penetap hukum yang akan membedakan antara
keraguan dan keyakinan, antara jalan yang melenceng dan yang lurus serta
antara hidayah dan kesesatan.
Dengan
ilmu kita mengenal Allah, beribadah kepada-Nya, mengingat-Nya,
mentauhidkan-Nya, memuji-Nya, mengagungkan-Nya dan dengannya para peniti
jalan mendapatkan petunjuk. Dengannya pula orang yang ingin sampai pada
tujuan mencapai tujuannya, melalui pintu ilmu orang-orang yang ingin
menuju (jannah-Nya) masuk.
Dengan
ilmu kita mengenal syari’at dan hukum-hukum Allah, dengannya kita
membedakan halal dan haram, dengannya pula kita menyambung tali kasih
saying. Karena ilmu kita mengetahui apa-apa yang diridhoi oleh Allah
yang sangat kita cintai, serta dengan memahami dan mengikuti ilmu itu
kita akan segera sampai kepada-Nya.
Dialah
imam sedangkan amal adalah makmumnya, dialah pemimpin sedangkan
perbuatan adalah pengikutnya, dialah teman disaat kita kesendirian,
dialah yang mengajak kita bicara disaat kita menyepi, dialah yang
menghibur kita di saat kita dalam kegalauan, yang membuka tabir
kerancuan dan kesesatan dimana tak akan ada seorang pun yang akan merasa
fakir saat ia lebih mengutamakan untuk mengumpulkan kekayan ilmu itu,
tidak akan hilang bagi mereka berlindung dalam “sarangnya”.
Mudzakarah
ilmu adalah laksana bertasbih, membahasnya adalah laksana jihad,
mencarinya adalah ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah, berinfaq
untuknya adalah shadaqah, mempelajarinya adalah amal yang menyamai shiyam (puasa) dan qiyam (tahajjud). Kebutuhan terhadapnya lebih besar dibanding kebutuhan terhadap minum dan makan.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
الناس
إلى العلم أحوج منهم إلى الطعام والشراب لأن الرجل يحتاج إلى الطعام
والشراب في اليوم مرة أو مرتين وحاجته إلى العلم بعدد أنفاسه
"Manusia lebih membutuhkan ilmu (tentang Ad-Dien)
dibanding makan dan minum, karena seseorang dalam sehari hanya
membutuhkan makan minum satu atau dua kali saja. Sedangkan ia
membutuhkan ilmu dalam setiap helaan nafasnya."
Kami meriwayatkan dari Imam Syafi'i rahimahullah, beliau berkata :
طلب العلم أفضل من صلاة النافلة
"Menuntut ilmu (Ad-Dien) lebih utama dibandingkan sholat nafilah (sunnah)."
Disarikan dari kitab Madarijus Salikin(2/369), karya Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah. Wallahu A’lam Bishshawab. [Ahmed Widad] Sumber