Satu ayat Al-Quran bercerita tentang “Isro’”nya Rasulullah SAW, dan
ketika itu disebutkan bahwa Rasulullah SAW itu adalah seorang hamba “bi
‘abdihi”. Begitu juga tentang “Mi’raj”nya Rasulullah SAW beliau sendiri
bercerita dengan ungkapan hamba “faauha ila abdihi”.
Sebuah ungkapan pendidikan iman kepada Allah SWT Sang Pencipta dan
iman kepada Rasulullah SAW yang seorang hamba namun amat dicintai dan
dimulyakan oleh Allah SWT. Pendidikan iman yang amat halus dan cermat.
Ungkapan yang mengingatkan kita kepada keberadaan Rasulullah SAW yang
sebenarnya yaitu seorang hamba pilihan.
Makna yang tersirat dalam ungkapan indah itu adalah ; Rasulullah SAW
menjalani Isra dan Mi’raj. Setinggi apapun Rasulullah meniti perjalanan
Mi’raj, dan semulia apapun tempat yang beliau kunjungi, akan tetapi
tetaplah Rasulullah SAW adalah seorang hamba yang tidak akan berubah
menjadi selain hamba Allah SWT. Itulah Rasulllah SAW yang dalam
pengalaman istimewa ini Allah SWT dengan sengaja menggelarinya sebagai
‘hamba’.
Ini sangat sesuai dengan apa yang pernah diperingatkan oleh
Rasulullah SAW “laatuhhruuni kamaa athratinnasooro ‘Iisaa ibna Maryama”
(artinya : Jangan engkau kultuskan aku seperti orang nasrani
mengkultuskan Isa bin Maryam). Pendidikan dari Rasulullah SAW agar kita
tidak menyanjung berlebihan kepada Rasulullah SAW seperti yang dilakukan
kaum nasrani dalam menyanjung Nabi Isa AS. Yaitu dengan menyanjung dan
mengangkat Nabi Isa hingga sampai derajat ketuhanan.
Artinya Rasulullah SAW biarpun telah melampaui tempat mulya Sidratul
Muntaha akan tetapi beliau tetaplah hamba Alah SWT. Hamba Allah SWT saat
di bumi dan hamba Allah SWT saat di atas langit. Dan sungguh gelar
hamba itulah gelar yang sangat dicintai oleh Rasulullah SAW.
Makna lain yang bisa dimengerti adalah : Rasulullah SAW biarpun
seorang hamba akan tetapi beliau telah diagungkan dan dimuliakan oleh
Sang Pencipta, Allah SWT. Dan kita pun diperintahkan untuk
memuliakannya. Allah SWT sangat menganjurkan kita agar menyanjung
makhluk paling agung dan mulia ini dalam kesehari-harian kita. Sanjungan
ini tidak ada batasnya. Kita boleh mengagungkan dan memuliakan
Rasulullah SAW dengan pengagungan sepuas hati kita. Sebab semua
kemuliaan dan keagungan yang ada pada semua makhluq Allah SWT adalah di
bawah kemuliaan dan keagungan yang ada pada Rasulullah SAW. Kita boleh
mengangkat Rasulullah SAW setinggi-tingginya karena hanya beliaulah yang
mencapai pangkat dan tempat tertinggi. Akan tetapi dengan catatan
jangan sampai kita mencabut sifat “kehambaan” dari Rasulullah SAW.
Suatu kepincangan dalam keimanan adalah yang mempercayai Rasulullah
SAW sebagai seorang hamba yang diangkat tinggi-tinggi oleh Allah SWT
dalam tempat dan pangkat akan tetapi begitu keberatan jika ada sanjungan
diberikan kepada Rasulullah SAW. Begitu juga suatu pemusnahan terhadap
iman adalah menyanjung Rasulullah SAW dengan sanjungan yang
menghilangkan sifat kehambaan Rasulullah SAW.
Wallahu a’lam bishshowab.
Wallahu a’lam bishshowab.
0 komentar:
Posting Komentar